Pages - Menu

Senin, 12 Maret 2012

Kasus Hukum Perlindungan Konsumen

1.    KASUS PT PLN
Pada hari Minggu 13 April 1997 telah terjadi pemadaman aliran listrik
disebagian besar wilayah Jawa dan Bali. Bagi kepentingan konsumen jasa kelistrikan,
pemadaman tersebut mempunyai dua arti istimewa. Pertama, dari segi cakupan
wilayah, pemadaman kali ini cukup luas dan berada dalam wilayah strategis
pelayanan PT. PLN, yaitu Jawa dan Bali.
Kedua, dari segi waktu, lamanya pemadaman rata-rata 8 jam juga terbilang
cukup lama untuk ukuran PT. PLN.
Kerugian yang diderita konsumen akibat pemadaman tersebut cukup
beragam. Tidak hanya konsumen langsung (pelanggan PT. PLN) yang dirugikan,
masyarakat yang secara langsung tidak mempunyai hubungan hukum dengan PT.
PLN pun juga dirugikan akibat tidak berfungsinya berbagai fasilitas umum yang
powernya disuplay PT. PLN, seperti KRL Jabotabek, lampu pengatur lalu lintas, dan
stasiun pompa bensin umum (SPBU).
Nilai nominal yang diderita konsumen juga beragam, beragam apakah
konsumen sebagai pelanggan rumah tangga atau pelanggan bisnis. Untuk pelanggan
rumah tangga, bentuk kerugian mulai dari tidak bisa mandi karena pompa air tidak
berfungsi, tidak bisa nonton TV sampai harus beli lilin sebagai ganti lampu
penerangan.
Alasan yang dikemukakan oleh PT. PLN atas peristiwa pemadaman tersebut
adalah dikarenakan adanya gangguan teknik yang timbul diluar dugaan pada sistem
relay pengaman tegangan (proteksi) 500 kv yang berbentuk kartu elektronik dengan
sistem modul komputer di Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) Gandul
Sawangan-Bogor. Kejadian dimaksudkan muncul secara mendadak dan tiba-tiba
dimana peralatan proteksi tidak berfungsi sebagaimana mestinya yang terprogram
secara komputer. Selanjutnya terhadap gangguan tersebut secepatnya diupayakan
pemulihan suplay tenaga listrik dengan penanganan teknik secara optimal, sehingga
suplay dengan sistem interkoneksi 500 kv Jawa – Bali kembali normal. (Jawaban
Tergugat PT. PLN dalam perkara perdata No.134/Pdt.G/1997/PN.Jaksel)
Upaya advokasi yang dilakukan YLKI dalam merespon terjadinya pemadaman
listrik total Jawa – Bali, 13 April 1997 adalah melalui kuasa hukumnya LBH Jakarta
yaitu dengan menempuh jalur hukum mengajukan gugatan ganti rugi kepada PT.
PLN. Hal baru yang dilakukan YLKI dalam gugatan perdata ini adalah selain mewakili
diriya sendiri selaku pelanggan PT. PLN, YLKI juga mewakili masyarakat konsumen
PT. PLN.
Angka-angka yang mengejutkan ini semakin bertambah tiap tahun akan
tetapi sepertinya kurang nyata dalam masyarakat oleh karena banyak konsumen
yang tidak menyuarakan hak dan kepentingannya.

Kerugian materi atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen disebabkan oleh
tidak sempurnanya produk. Banyak produsen yang kurang menyadari tanggung
jawabnya untuk melindungi konsumen atau menjamin keselamatan dan keamanan
dalam mengkonsumsi produk yang dihasilkannya.
Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Rendahnya kesadaran hukum para pejabat pemerintah yang kurang hatihati dalam melakukan pengawasan terhadap barang-barang konsumsi
yang dihasilkan produsen.
2. Adanya kebijaksanaan resmi pemerintah tentang pemakaian barang
berbahaya atau adanya barang yang mempunyai cacat, yang
bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku yang menyangkut
dengan keamanan dan keselamatan masyarakat. Misalnya dipakainya DOT
untuk pemberantasan malaria melalui Depkes RI.
3. Masih rendahnya kesadaran masyarakat konsumen dan produsen lapisan
bawah serta kurangnya penyuluhan hukum sehingga mereka tidak
terjangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada.
4. Adanya kesengajaan dari produsen untuk mengedarkan barang yang
cacat dan berbahaya, baik karena menyadari kelemahan konsumen,
kelemahan pengawasan, ataupun demi mengejar keuntungan atau laba.


KESIMPULAN :

Penegakan perlindungan hukum terhadap konsumen perlu diterapkan, hal ini
ditunjang dengan dibuatnya suatu undang-undang tentang perlindungan konsumen
yang merupakan pengejawantahan dari perintah UUD 1945 yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum didalam setiap
kepentingan masyarakat, ketidakpastian akan perlindungan hukum terhadap
konsumen merupakan hambatan pada upaya perlindungan konsumen.
Pada kenyataannya telah terbentuk suatu lembaga yang bertujuan untuk
membawa konsumen dalam mempertahankan haknya sebagai konsumen yaitu
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, akan tetapi para konsumen tetap masih
enggan menempuh melalui lembaga peradilan bagi dirinya sehingga lebih bersifat
pasrah terhadap apa yang dialaminya.
Produk yang cacat bila produk tidak aman dalam penggunaannya tidak
memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana diharapkan dengan
pertimbangan berbagai keamanan terutama tentang :
- penampilan produk
- penggunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk.
- saat produk tersebut diedarkan
Selanjutnya pasal 1367 KUHPerdata sangat tepat sebab tanggung jawab
mutlak terhadap produsen untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen akibat
dari kerugian yang dialami konsumen yang disebabkan oleh barang yang cacat dan
berbahaya.


2. Kasus Pengingkaran Perlindungan Hak-hak Konsumen pada Kasus BBM

Hal ini kasus kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), masyarakat konsumen tetaplah menjadi objek penderita meskipun akan diupayakan adanya subsidi dan kompensasi dalam berbagai bentuk. Ini berarti bahwa produk-produk kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, yang ditandai dengan kenaikan elpiji sebesar 41,6% dan harga BBM yang besarnya direncanakan sebesar 40% semakin memperjelas beban masyarakat sebagai konsumen akan semakin berat.
Apa yang dilakukan pemerintah saat ini sama sekali bertentangan dengan ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 29 UUPK, bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Secara teknis, kewajiban pemerintah itu dilaksanakan oleh menteri, atau menteri teknis terkait.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mestinya memperjuangkan nasib rakyat, ternyata sekadar stempel pemerintah agar kebijakan-kebijakan yang diambil dapat memperoleh legitimasi dari masyarakat. Kalaupun terjadi perubahan dalam hal persentase kenaikannya, nilai perubahan itu dapat dipastikan tidak sesuai dengan kondisi yang berkembang dan tuntutan masyarakat. Rakyat menjerit karena harga-harga sudah telanjur meningkat jauh sebelum kepastian kenaikan harga BBM diputuskan. Meskipun pemerintah secara aktif dan terus-menerus melakukan sosialisasi, kenyataannya upaya tersebut tidak akan mampu mempengaruhi melambungnya harga-harga.

3.  Kasus Prita : UU ITE vs UU Perlindungan Konsumen
Kasus yang menimpa Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang dijebloskan ke penjara akibat tindakannya menuliskan keluhan yang dialaminya di surat pembaca elektronik, ternyata berhadapan dengan Undang-Undang ITE. Sementara UU Perlindungan Konsumen ternyata tidak dipakai.
Prita Mulyasari dituntut oleh RS Omni International karena dianggap melakukan pencemaran nama baik. Tidak hanya itu, Prita juga dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 27 ayat 3 merupakan pasal yang sempat diajukan oleh komunitas blogger ke meja Mahkamah Konsititusi (MK) untuk dicabut, karena dianggap sebagai pasal karet yang bisa digunakan oleh penguasa untuk mengekang kebebasar berekspresi di internet.
Ternyata, pasal ini sudah memakan 2 korban. Pertama, Narliswandi Piliang atau Iwan Piliang, seorang citizen journalist yang dituntut oleh politisi Alvin Lie. Korban kedua, adalah Prita Mulyasari yang dituntut oleh RS Omni International. Padahal, Menkominfo M Nuh telah menegaskan komitmennya bahwa UU ITE bukanlah alat untuk mengekang kebebasan berekspresi di internet.
Kenyataannya, pasal 27 ayat 3 seakan menjadi "amunisi tambahan" bagi pasal pencemaran nama baik yang biasanya hanya ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Prita adalah contoh nyata, bagaimana pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut dipergunakan. Padahal, yang dilakukan oleh Prita adalah menulis keluhan dan menyatakan haknya untuk komplain sebagai seorang konsumen. Tindakan Prita ini sebenarnya telah dijamin oleh UU Perlindungan Konsumen. Namun, patut dipertanyakan mengapa UU Perlindungan konsumen tidak dipergunakan dalam kasus ini.
Seberapa besar sebenarnya pengaruh UU ITE dibanding UU Perlindungan Konsumen? Tentu tidak dapat dibandingkan. Namun, jika bicara fakta, UU Perlindungan Konsumen termasuk yang paling jarang diimplementasikan. Justru UU ITE yang baru berusia muda sudah mampu membuat seorang Prita yang hanya seorang ibu rumah tangga ditahan dan bahkan diperpanjang penahanannya.
Komunitas pengguna internet pun tidak tinggal diam. Gerakan dukungan terhadap Prita di dunia maya mulai melebar tidak hanya di milis, blog, bahkan hingga situs jejaring sosial seperti facebook juga mulai bermunculan. Upaya ini dilakukan untuk meluruskan prinsip yang digunakan dalam UU ITE. Karena, pasal 27 ayat 3 tersebut seharusnya dimaknai sebagai upaya perlindungan, bukan malah dijadikan alat untuk menyerang seperti yang dilakukan oleh RS Omni International dalam kasus Prita tersebut.
Komunitas pengguna internet memandang bahwa surat elektronik yang ditulis oleh Prita tersebut seharusnya disikapi sebagai sebuah komplain dari konsumen kepada RS Omni International, dan tidak ada unsur pencemaran nama baik. Kecuali, jika Prita bukanlah konsumen dari RS Omni International.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar