Ford Pinto Cases
In order to meet strong competition from Volkswagen as well as other foreign domestic subcompacts, Lee Iacocca, then president of Ford Motor Co, decided to introduce a new vehicle by 1970, to be known as the Pinto. The overall objective was to produce a car at or below 2,000 pounds with a price tag of $2000 or less. Altough preproduction design and testing normally requires about three-and-a half years and the arrangement of actual production somewhat longer, design was started in 1968 and production commenced in 1970.
The Pinto project was overseen by Robert Alexander, vice president of car engineering, and was approved by Ford’s Product Planning Committee, consisting of Iacoca, Alexander, and Ford’s group vice president of engineering, Harold MacDonald. The engineer throughout Ford worked on the project “signed off” to their immediate supervisors, who did likewise in turn their superiors, and so on to Alexander and MacDonald and, finally, Iacocca.
Many report were passed up the chain of command during the design and approval process , including several outlining the results of crash tests, and proposal to remedy the tendency for the car burst into flames when rear-ended at 21 miles per hour. This tendency was caused by the placement of the car’s gas such that rear end collision was likely to drive the gas tank forward to rupture on the bolts for the rear axle differential housing the ruptured tank would then spew gas into the passenger compartment to be ignited immediately by sparks or a hot exhausted.
The remedies available to Ford included mounting the gas tank above the rear axle, which would cut down on trunk space, or installing a rubber bladder in the gas tank. Ford experimented with the installation of rubber bladders but apparently decided they were not cost-effective. Later, as part of a succesful lobby effort against government regulations for mandatory crash test (crash test were delayed eight years, until 1977), Ford’s cost-benefits analysis came to light in a company study entitled “Fatalies Associated with Crash- Induced Fuel Leakage and Fires”. As the details previously outlined show, the costs of installing the rubber bladder vastly exceeded the benefits.
Ford took the $200,000 figure for the cost of death from a study of the National Highway Traffic Safety Administration, wich used the estimates in the table on previous page.
FATALITY PAYMENT 1971
COMPONENT COSTS
Future productivity Losses
Direct $132,000
Indirect 41,300
Medical costs
Hospital 700
Other 425
Property damage 1,500
Insurance Administration 4,700
Legal and court 3,000
Employer losses 1,000
Victim’s pain and suffering 10,000
Funeral 900
Assets (lost consumption) 5,000
Miscellaneous 200
Total per fatality $200,725
Ford’s Cost-Benefit Analysis
EACH TOTAL
Benefits : Savings
180 burn deaths $200,000 $36,600,000
180 serious burn injuries $67,000 12,060,000
2100 burned vehicles 1,470,000
$49,530,000
Costs :
11 million cars $11 $121,000,000
1,5 million light trucks $11 16,500,000
$137,500,000
Questions :
1. Was the decision not to install the rubber bladder appropriate? Use the 5 question framework to support your analysis.
2. What faults can you identify in Ford’s cost-benefits analysis?
3. Should Ford have given its Pinto Costumers the option to have rubber baldder installed during production for, say $20
Answer
1. No,It Was Not, Application of the 5-Question Approach
Question 1 : Profitability
Perusahaan Ford tidak menginstal rubber bladder karena memakan banyak biaya sebesar $137.500.000, sedangkan jika rubber bladder tidak dipasang maka biayanya hanya sebesar $49.530.000. Ini berarti Ford Mobil Company bisa menghemat biaya sebesar $87.970.000. Dilihat dari sisi Ford, jelas Ford lebih mencari profit daripada harus menginstal rubber bladder untuk keselamatan penumpang. Dilihat dari sisi konsumen, jelas konsumen dirugikan karena Ford sudah melakukan kecurangan dengan melakukan penghematan biaya produksi dan tidak memperhatikan kualitas produk untuk keamanan dan keselamatan pengendara.
Question 2 : Legality
Perusahaan Ford jelas melanggar legalitas karena dalam proses uji kecelakaan, Ford melakukan lobby dengan Pemerintah dan uji kecelakaan ditunda selama 8 tahun, padahal Ford Pinto sudah dijual ke pasaran sebelum uji kecelakaan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Ford berusaha menutupi kecatatan produknya kepada publik dengan tetap menjualnya tanpa diinstal rubber bladder.
Question 3: Fairness
Setelah produk Ford Pinto selesai diproduksi dan diuji kelayakaannya oleh Ford, ternyata mobil meledak saat ditabrak dari belakang karena tangki bensin berada tepat dibawah bumper. Ford sendiri sudah mengetahui hal tersebut dan mengajukan lobby kepada pemerintah untuk menunda uji kecelakaaan selama 8 tahun. Ford juga tidak berusaha menginstal rubber bladder karena biayanya sangat tinggi. Hal ini tidak fair bagi konsumen/publik karena perusahaan tidak mementingkan keselamatan penumpang dan perusahaan Ford juga menutupi kenyataan tersebut dan tetap menjual Ford Pinto ke pasaran.
Question 4 : Impact on Right
Dalam kasus ini, Ford tidak mementingkan hak-hak konsumen dan tidak menjamin keselamatan pengguna Ford Pinto. Konsumen/publik seharusnya berhak mengetahui produk tersebut layak digunakan atau tidak dengan spesifikasi produk yang jelas. Tetapi Ford justru menyembunyikan kenyataan tersebut dan sama saja Ford melakukan kebohongan publik.
Question 5 : does it contribute to suistanable development/and or survivability?
Jelas, kenyataannya produk Ford Pinto adalah produk cacat dan perusahaan Ford juga tidak menginstal rubber bladder dikarenakan biaya yang sangat tinggi jika dilihat dari cost-benefitnya.
Jika setelah produk Ford Pinto dipasarkan dan terjadi insiden kecelakaan yang diakibatkan oleh kesalahan Ford yang dengan sengaja tidak menginstal rubber bladder, maka persepsi negatif masyarakat akan produk tersebut akan muncul dan hal tersebut bisa merusak reputasi Ford. Hal ini berpengaruh pada kelangsungan produk Ford Pinto di pasaran. Konsumen/publik menjadi lebih berhati-hati memilih kendaraan yang aman untuk dikendarai.
2. What fault can you identify in Ford cost-benefit analysis?
Dalam kasus ini, Ford terlalu menekan biaya produksi sebesar $2000 untuk memproduksi sebuah mobil dengan harapan memperoleh profit sebesar mungkin. Ford mendesain mobil dengan meletakkan tangki bensin di bawah bumper belakang dengan harapan membuat bagasi lebih luas. Saat uji kelayakan ternyata Ford Pinto langsung meledak saat ditabrak dari belakang. Dari uji kelayakan tersebut seharusnya Ford mendesain ulang Ford Pinto dengan menginstal rubber bladder di tangki bensin. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan karena membutuhkan biaya sebesar $137.500.000. Apabila Ford tidak menginstal rubber bladder maka biayanya hanya sebesar $49.530.000 sehingga menghemat $87.970.000. Hal ini menandakan bahwa Ford tidak ingin kehilangan banyak biaya untuk mendesain ulang Ford Pinto dengan rubber bladder dan mengesampingkan keselamatan penumpang.
3. Should Ford has given its Pinto Costumers the option to have the rubber bladder installed during production?
Tidak perlu karena rubber bladder seharusnya diinstal oleh Ford Pinto karena kesalahan Ford Mobil Company. Consumer seharusnya tidak perlu dibebani $20 untuk mendapatkan rubber bladder karena itu merupakan tanggung jawab perusahaan Ford untuk keselamatan para pengguna Ford Pinto. Kebijakan pembebanan $20 tersebut saya rasa tidak etis karena Ford sekaan-akan ingin mendapat ganti rugi karena kesalahan mereka sendiri dan jika itu diumumkan ke publik sama saja memberi tahu publik akan bahaya Ford Pinto tanpa instalasi rubber bladder
Menus

Ford Pinto Cases

Waste Management Inc
WASTE MANAGEMENT
Sinopsis
Pada Februari 1998, Waste Management mengumumkan laporan keuangan yang diterbitkan pada tahun 1993 sampai dengan 1996 dikoreksi kembali. Dalam uraian baru tersebut, Waste Management mengumumkan bahwa laporan tersebut secara material telah berlebihan mengungkapkan pendapatan sebelum pajak sebesar 1.43 milyar dollar. Setelah pengumuman tersebut, saham perusahaan turun hingga lebihdari 30% dan pemegang saham rugi hingga $ 6 milyar dollar.
SEC menuduh Dean Buntrock, pendiri perusahaan, dan 5 pejabat top lainnya melakukan kejahatan. Tuduhan tersebut menduga bahwa manajemen telah berulang kali merubah penilaian biaya depresiasi untuk mengurangi jumlah biaya dan telah melakukan praktek akuntansi yang tidak layak berhubungan dengan kebijakan-kebijakan kapitalisasi, juga merencanakan pengurangan biaya-biaya.
SEC juga menuduh Arthur Andersen, sebagai auditor Waste Management, yang diduga keras mengetahui atau secara sembarangan mengeluarkan laporan audit yang secara material salah dan menyesatkan untuk periode 1993 sampai dengan 1996. Andersen menyelesaikan masalah kepada SEC dengan membayar denda, terbesar dalam sanksi perdata, sebesar 7 juta dollar, tanpa pernyataan mengakui atau menyangkal.
Sejarah
Pada tahun 1956, Dean Buntrock mengambil alih Ace Scavenger, pengumpul sampah yang dimiliki oleh bapak mertuanya yang baru saja meninggal. Setelah bergabungdengan Ace dan beberapa perusahaan sejenis, Buntrock mendirikan Waste Management pada tahun 1968. Dalam pemilikan Buntrock sebagai CEO, perusahaan tersebut ‘go public’ pada tahun 1971, dan kemudian berkembang selama tahun1970an dan 1980an melalui beberapa tambahan atau akusisi dari perusahaan angkutan sampah lokal dan pengurus-pengurus landfill*). Bahkan pada suatu saat perusahaan mampu melakukan hampir dari 200 akusisi selama setahun.
Dari 1971 sampai dengan 1991, perusahaan menikmati rata-rata pertumbuhan pendapatan sebesar 36% per tahun dan pertumbuhan laba bersih sebesar 36% per tahun. Pada 1991, Waste Management menjadi bisnis pembersih sampah terbesar didunia, dengan pendapatan lebih dari 7.5 milyar dollar. Meskipun terjadi resesi, Buntrock dan eksekutif lainnya di Waste Management menetapkan tujuan/sasaran pertumbuhan yang agresif. Pada 1992 misalnya, perusahaan meramalkan pertumbuhan sebesar 26.1% untuk pendapatan & 16.5 % untuk laba bersih berturut-turut selama 1991.
*) Landfill adalah sebuah situs/tempat pembuangan limbah atau bisa juga disebut lokasi penimbunan. Landfills banyak juga digunakan untuk keperluan pengelolaan sampah lainnya, seperti penyimpanan sementara, konsolidasi dan mentransfer, atau pengolahan limbah bahan (sorting, pengobatan, atau daur ulang). Untuk selanjutnya lokasi penimbunan ini disebut landfill saja
Inti Operasi Waste Management
Bisnis inti Waste Management untuk manajemen sampah di Amerika Utara terdiri dari proses-proses penting sebagai berikut : mengumpulkan (collection), memindahkan (transfer) & membuang (disposal).
Mengumpulkan (Collection)
Mengumpulkan dalam manajemen sampah padat untuk konsumen komersil & industri, dilakukan dalam 1-3 tahun perjanjian kontrak. Kebanyakan dari pengumpulan manajemen sampah untuk area kediaman/hunian dilakukan dalam kontrak atau waralaba yang menanggung – dengan pemerintah kota bersangkutan,dengan memberikan hak jasa eksklusif untuk semua atau beberapa tempat dari rumah-rumah yang tergabung dalam wilayah yuridiksi kota tersebut.
Memindahkan (Transfer)
Pada 1995, Waste Management mengoperasikan 151 stasiun pengiriman sampah padat yaitu fasilitas dimana sampah padat diterima dari kendaraan pengumpulan (collection) kemudian dipindahkan ke trailer/truk untuk dikirim ke fasilitas pembuangan (disposal).
Membuang (Disposal)
Pada 1995, Waste Management mengoperasikan 133 fasilitas Landfill untuk pembersihan sampah, dimana 103 diantaranya adalah milik perusahaan. Semua fasiltas pembersihan sampah tersebut adalah untuk memenuhi peraturan pemerintah untuk membatasi adanya kemungkinan terjadinya polusi air. Sebagai akibat peraturan pemerintah tersebut, kelangkaan landfill dan perlawanan pemilik hunian lokal bersekongkol agar sulit memperoleh ijin untuk mengoperasikan dan memperluas fasilitas landfill untuk pembersihan sampah di beberapa area. Perkembangan fasilitas landfill yang baru juga membutuhkan investasi modal awal yang besar dan waktu yang panjang, dengan risiko pada akhirnya perijinan yang dibutuhkan pada akhirnya tidak disetujui.
Perluasan Usaha
Dalam perkembangan perusahaan, Waste Management meluaskan usahanya dengan beroperasi secara internasional & masuk ke dalam industri-industri baru, termasuk manajemen sampah yang penuh dengan risiko ( berbahaya ), sampah menjadi energi (waste-to-energy) dan bisnis tehnik perancangan lingkungan (environmental engineering business). Pada pertengahan era 90an, Waste Management memiliki 5 grup bisnis utama yang melaksanakan beberapa jasa berikut ini: manajemen limbah padat, manajemen limbah penuh resiko ( berbahaya ), jasa tehnik dan industri (engineering & industrial services), sampah menjadi energi (waste-to-energy), pengelolaan air dan jasa pengelolaan kualitas udara, serta pengelolaan sampah secara internasional
Tantangan
Pada pertengahan era 90an, inti perusahaan bisnis limbah padat di North American mulai mendapatkan tantangan dari persaingan yang ketat dan kelebihan kapasitas sampah di landfill pembuangan pada beberapa pasar. Peraturan lingkungan yang baru, juga menambah biaya operasi pengelolaan landfill serta menjadi sangat sulit dan mahal bagi Waste Management untuk mendapatkan ijin membangun landfill baru atau memperluas yang lama.
Beberapa bisnis lain dari Waste Management (termasuk bisnis manajemen limbah beresiko tinggi & beberapa operasi internasional) juga mengalami kerugian. Setelah dikaji ulang pada awal 1974, perusahaan menyusun kembali lini bisnisnya menjadi 4 yaitu : jasa sampah, energi bersih, air bersih dan konsultasi & tehnik infrastruktur lingkungan.
Pada musim panas tahun 1996, Dean Buntrock, pendiri Waste Management sejak 1968, pensiun sebagai CEO, tapi melanjutkan untuk karirnya sebagai ketua dari Dewan Direksi. Buntrock pada awalnya digantikan oleh Phillip Rooney, yang mulai bekerja pada Waste Management pada 1969. Pada awal 1997, Rooney mengundurkan diri dari direksi dan CEO karena ketidakpuasan pemegang saham.
Sebagai tambahan, beberapa eksekutif kunci, tidak sama dengan LeMay, telah bekerja pada Waste Management untuk beberapa tahun termasuk CFO James Koenig, controller perusahaan Thomas Hau dan presiden utama keuangan Bruce Tobecksen juga mengundurkan diri pada akhir tahun 1997.
Biaya Kapitalisasi Landfill & Biaya-biaya Lainnya
Biaya kapitalisasi Waste Management berhubungan dengan biaya memperoleh perijinan untuk mengembangkan landfill, juga memperhitungkan bunga biaya konstruksi, serta biaya yang berhubungan dengan pengembangan sistem.
GAAP untuk Biaya Kapitalisasi
Menurut GAAP, biaya dapat dikapitalisasi jika memberikan keuntungan ekonomi untuk digunakan atau dikonsumsi di masa yang akan datang. Perusahaan diwajibkan untuk menghapus (write-off) assets-assets pokok yang sudah rusak atau dibuang, yang menjadi biaya-biaya ditangguhkan (deferred) sebagai biaya pada periode sekarang.
Jika ada biaya untuk memperbaiki atau pengembalian kekayaan/hak milik (properti) ke kondisi semula, diwajibkan menjadi biaya jika itu terjadi. Akhirnya, bunga dapat dikapitalisasi sebagai bagian dari biaya untuk memperoleh assets dalam periode waktu tertentu untuk menempatkan assets dalam kondisi yang siap untuk digunakan. Bagaimanapun, GAAP mewajibkan kapitalisasi atas bunga harus berhenti ketika assets tersebut menjadi asset pokok yang siap untuk digunakan.
Kapitalisasi Biaya Perijinan Landfill
Perusahaan secara rutin mengkapitalisasi biaya untuk memperoleh perijinan yang dibutuhkan, sehingga dapat menangguhkan biaya-biaya yang berhubungan dengan landfill sampai landfill tersebut dapat digunakan secara efektif. Bagaimanapun, daripada menghapus biaya-biaya yang berhubungan dengan proyek landfill yang rusak dan dibatalkan, serta memperlihatkan akibatnya seperti penghapusan, manajemen hanya memperlihatkan resiko proyek atas penghapusan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Tim manajemen Waste Management, juga diduga memindahkan biaya yang tidak memiliki usaha-usaha yang berhasil untuk memperoleh perijinan di beberapa landfill ke tempat lain yang telah memperoleh perijinan atau yang sedang dalam proses perijinan. Efeknya biaya-biaya tersebut menjadi tercampur antara biaya yang memperoleh perijinan untuk proyek landfill dan yang tidak atau rusak bahkan dibatalkan (praktek ini disebut ‘basketing’ yang tidak sesuai dengan GAAP). Sebagai tambahan dalam ‘basketing’, perusahaan di duga terlibat dalam pemindahan biaya- biaya yang tidak diamortisasi dari fasilitas landfill yang sudah tutup lebih dahulu keoperasi yang masih aktif (praktek ini disebut ‘bundling’ yang juga tidak sesuai dengan GAAP). Manajemen tidak pernah mengungkapkan penggunaan bundling & basketing dalam form 10K.
Pada tahun 1994, setelah auditor Arthur Andersen mengetahui praktek ini, manajemen setuju untuk menghapus (write-off) 40 juta dollar berhubungan dengan proyek yang sudah ‘mati’ dalam jangka waktu lebih dari sepuluh tahun. Manajemen juga menjanjikan untuk menghapus di masa depan jika terjadi assets yang rusak atau dibatalkan dengan cara yang tepat. Bagaimanapun, selama tahun 1994, 1995, 1996 dan1997, manajemen secara efektif ‘mengubur’ penghapusan atas assets rusak atau dibatalkan melalui ‘netting” dengan pendapatan lain, sebagai lawan untuk mengidentifikasi biaya secara terpisah.
Kapitalisasi atas Bunga dalam Biaya Konstruksi Landfill
Menurut GAAP, Waste Management dapat mengkapitalisasi bunga yang berhubungan dengan pengembangan landfill karena relatif membutuhkan waktu yang panjang guna memperoleh perijinan, membangun landfill, dan pada akhirnya, menyiapkannya untuk menerima limbah tersebut. Bagaimanapun, Waste Management menggunakan metode, yang mengacu pada metode Nilai Buku Bersih (Net Book Value/NBV) yang, pada hakikatnya, dimungkinkan untuk menghindari syarat-syarat GAAP yang menyebutkan bahwa bunga kapitalisasi wajib dihentikan ketika asset-asset pokok siap untuk digunakan. Auditor Waste Management, Arthur Andersen, menyarankan agar perusahaan menggunakan metode NBV, yang tidak sesuai dengan GAAP.
Controller perusahaan Thomas Hau bahkan mengaku bahwa metode tersebut “secara tehnik tidak konsisten dengan FAS Statement No.34 (pernyataan pengendalian GAAP) karena didalamnya termasuk bunga (kapitalisasi) sehubungan dengan sel landfill yang menerima sampah”. Namun, perusahaan menulis pada catatan kaki Laporan Keuangan bahwa “bunga sudah dikapitalisasi pada landfill utama, instalasi sampah ke energi, dan proyek lain di bawah pengembangan yang sesuai dengan FAS No.34”. Pada akhirnya, perusahaan setuju untuk menggunakan metode baru, yang sesuai dengan GAAP, mulai 1 Januari 1994. Controller perusahaan Thomas Hau dan CFO James Koening diduga turut menentukan bahwa metode GAAP yang baru dapat menghasilkan peningkatan biaya bunga tahunan sekitar 25 juta dollar dan oleh sebab itu, mereka memilih untuk memberikan fase dari metode baru tersebut dalam periode3 tahun yang dimulai pada tahun 1995. Bagaimanapun, perusahaan kelihatan masih menggunakan metode NBV untuk kapitalisasi bunga pada tahun 1997.
Kapitalisasi atas Biaya Lain-lain
Manajemen perusahaan juga memilih untuk mengkapitalisasi biaya lain-lain, seperti biaya pengembangan sistem, daripada mencatat biaya tersebut pada periode dimana biaya tersebut terjadi. Bahkan menurut dugaan, mereka menggunakan amortisasi yang berlebihan dalam periode (Periode 10 dan 20 tahun untuk kedua sistem yang besar) yang tidak mengakui akibat dari tehnologi yang sudah kuno atas penggunaan pokok sistem tersebut
Auditor perusahaan Arthur Andersen mengusulkan beberapa jurnal penyesuaian untuk menghapus sistem biaya pengembangan ditangguhkan (deffered systems deelopment cost ) yang tidak sesuai. Andersen juga berulang kali menganjurkan manajemen untuk memperpendek periode amortisasi. Pada tahun 1994, manajemen akhirnya setuju untuk memperpendek periode amortisasi dan menghapus kesalahan laporan keuangan sebagai akibat dari ketidaksesuaian sistem kapitalisasi biaya dalam jangka waktu 5tahun. Selama tahun 1995, manajemen mengubah periode amortisasi dan mengubah ketidaksesuaian system kapitalisasi biaya dengan “membersihkan” terhadap pendapatan lain
Proses Akuntansi Aktiva Tetap Waste Management
Aktiva tetap bisnis Waste Management’ North American (WMNA) terdiri dari truk sampah, kontainer dan peralatan, yang berkisar seharga 6 milyar dollar dalam assets. Aktiva tetap kedua dari perusahaan (setelah kendaraan, kontainer dan peralatan)adalah tanah, dalam bentuk lebih dari seratus landfill yang dimiliki perusahaan maupun yang dioperasikan. Di bawah GAAP, biaya depresiasi ditentukan dengan mengalokasikan biaya historis harta berwujud (dikurangi nilai sisa) selama perkiraan umur ekonomis dari asset tersebut.
Estimasi Umur Kegunaan Assets yang tidak Mendukung
Dari tahun 1988 sampai 1996, manajemen menurut dugaan membuat banyak hal yang tidak mendukung perubahan dalam memperkirakan (estimasi) umur kegunaan dan/atau nilai sisa dari kategori satu atau lebih kendaraan, kontainer dan peralatan.Beberapa perubahan telah memberikan efek pada pengurangan biaya depresiasi yang dibukukan pada periode bersangkutan. Sebagai tambahan, beberapa perubahan juga dibukukan sebagai top side adjustment, pada level perusahaan (terpisah dari level unitoperasi).
Seringkali pencatatan dibuat selama kuartal ke-4 dan kemudian dengan tidak sesuai digunakan secara kumulatif dari awal tahun. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen tidak pernah memperlihatkan perubahan atau akibat keuntungan kepada investor.
Pengakuan Tanah Rusak/Lemah pada Biaya
Karena sifat dasar landfill, GAAp juga mewajibkan agar perusahaan membandingkan biaya landfill dengan anticipated salvage value, secara berbeda dengan perubahan depresiasi atas estimasi umur ekonomis. Waste Management memperlihatkan dalam catatan kaki laporan keuangan tahunannya bahwa “tempat-tempat pembuangan diakui at cost dan sejumlah kelebihan akhir realizable value, seperti kelebihan amostisasi atas estimasi umur ekonomis dari tempat pembuangan”.
Bagaimanapun, hal tersebut kemudian terbongkar bahwa Waste Management mengakui hampir semua landfill pada neraca sebagai biaya.
Taksiran Auditor
Pada sebuah surat kepada tim manajemen tanggal 29 Mei 1992, tim Arthur Andersen menulis, ”Dalam masing – masing 5 tahun belakangan ini, perusahaan menambahkan pencatatan konsolidasi baru pada kuartal ke-4 untuk meningkatkan nilai sisa dan / atau umur ekonomis dari truk, mesin-mesin, peralatan atau kontainer”. Andersen menyarankan perusahan mengadakan suatu “keseluruhan, pembelajaran satu kali untuk mengevaluasi level yang cocok atas nilai sisa WMNA dan umur ekonomis”, dan kemudian mengirimkan penyesuaian ini ke masing - masing grup WMNA. Manajemen tingkat atas melanjutkan dengan merubah estimasi depresiasi pada perusahaan induk.
Pada Maret 1994, Eksekutif Presiden Utama dan CFO James Koenig, yang pernah bekerja sebagai auditor pada Arthur Andersen sebelum bergabung Waste Management pada 1977, menurut dugaan menginstruksikan agen pembelian untuk membuat draft memo yang berpendapat agen mendukung estimasi nilai sisa asset perusahaan. Pada November 1995, sebuah penelitian dimulai untuk menentukan umur yang sesuai dan nilai sisa dari kendaraan, peralatan dan kontainer perusahaan. Koenig menurut dugaan meminta penelitian dihentikan setelah dia menerima informasi bahwa hasil interim dari penelitian menunjukkan bahwa nilai sisa assets perusahaan seharusnya dikurangi. Koenig juga mengatakan untuk menghancurkan semua data-data hasil penelitian interim tersebut dan menghapus semua data-data tersebut dari harddisc. Memo tersebut tidak pernah dibagikan ke auditor perusahaan.
Mengenai isu perawatan landfill Waste Management pada neraca, Andersen mengelu-arkan surat manajemen ke Dewan Direksi yang menyarankan perusahaan mengadakan “ site by site analysis atas landfill untuk membandingkan nilai tanah yang tercatat dengan anticipated net reliazable value berdasarkan pengunaan akhir” setelah audit tahun 1988. Andersen lebih jauh lagi menginstruksikan bahwa semua kelebihan harus diamortisasi selama “umur tempat aktif” dari landfill. Andersen membuat permintaan yang sama setelah audit tahun 1994. Meskipun surat ini, manajemen tidak pernah mengadakan penelitian dan mereka juga gagal mengurangi kelebihan nilai tanah, meskipun komitmen mereka untuk melakukan sesuai audit Andersen tahun1994.
Top Side Adjusting Journal Entries
Top Side Adjusting Journal Entries adalah secara khusus dibuat dari manager tingkat atas pada akhir proses pelaporan, biasanya pada kantor pusat perusahaan. Karena pencatatan jurnal ini tidak dilaksanakan pada proses bisnis (misal penjualan internet) atau unit level bisnis (misal North American Division), maka hal ini dapat digunakan manager tingkat atas untuk mengelakkan sistem pengendalian internal dan kemungkinan melakukan penyimpang-an (fraud)
Waste Management tampaknya menggunakan Top Side Adjusting Journal Entries ketika mengkonsolidasikan hasil dari beberapa unit bisnis dan kesatuan usaha yang dilakukan
perusahaan, guna mempersiapkan laporan keuangan tahunan dan kuartalan.Bahkan, Waste Management menggunakan beberapa Top Side Adjusting Journal Entries tanpa budget dan tanpa dukungan di awal 1990 karena pemerhati/peninjau (termasuk Arthur Andersen) menanyakan apakah manajemen telah mengerjakan penyesuaian ini sebagai alat untuk me-mbantu ‘mengatur’ laporan pendapatan mereka.
Waste Management membuat target pendapatan selama proses budget tahunan. Perus-ahaan mengikuti “top down budgeting process” dimana CEO (Buntrock sampai 1996, Rooney dari pensiun Buntrock sampai awal 1997) mebuat sasaran pertumbuhan pendapatan dan unit operasi yang dapat capai untuk membuat anggaran berdasarkan sasaran yang dibuat oleh tingkat atas. Anggaran kemudian dikonsolidasikan hingga pendapatan konsolidasi anggaran (budgeting consolidated earnings). Pada saat ini, manager tingkat atas juga membuat anggaran untuk mengantisipasi penyesuaian tingkat atas berdasarkan asumsi akuntasi yang ada digunakan.
Sebagai hasil operasi yang dicatat oleh unit operasi Waste Management pada akhir tiap kuartal, manajer tingkat atas menurut dugaan memonitor (mengawasi)kesenjangan antar hasil dan sasaran serta membuat angka yang berbeda untuk unbudgeting top-side adjusting e-ntries guna “menutup kesenjangan”. Manajemen tidak memperlihatkan ke investor dampak dari top-side adjusting entries pada pendapatan perusahaan. Bahkan, manajemen tidak menginformasikan unit internal operasinya sendiri tentang top-side adjusting entries yang dibuat dan menghasilkan pengurangan biaya.
Pada awal 1992, auditor perusahaan Arthur Andersen menganjurkan manajemen unt-uk tidak menggunakan top-side adjusting entries sebagai alat untuk mengatur pendapatan pada laporan postaudit yang menyebabkan perubahan akuntansi. Auditor Andersen menulis bahwa “keputusan individual tidak dievaluasi sebagai hasil operasional sebenarnya” layaknya hasil dari top-side adjustment yang menyeluruh.Andersen menyarankan agar “semua penyesuaian perusahaan harus dikembalikan kepada divisi masing-masing”. Namun, manajemen atas menurut dugaan menaikkan anggaran dari penyesuaian tingkat atas dari tahun 1992-1997 dan setiap tahun penyesuaian aktual menghasilkan kelebihan penyesuaian anggaran (budgeting Aajustmen ). Dari kuartal pertama 1992 sampai dengan kuartal pertama 1997, top management menggunakan top-side adjusting entries yang tidak mendukung dalam 14 dari 21 kuartal untuk mendapatkan laporan akhir yang pada akhirnya jatuh seiring proyeksi pendapatan perusahaan publik atau pendapatan anggaran internal.
Pada Februari 1998, Waste Management mengumumkan laporan keuangan yang terbit pada tahun 1993 sampai dengan 1996 dikoreksi kembali. Dalam uraian baru tersebut, Waste Management mengumumkan bahwa laporan tersebut secara material telah berlebihan mengungkapkan pendapatan sebelum pajak sebesar 1.43 milyar dollar. Setelah pengumuman tersebut, saham perusahaan turun hingga lebih dari 30% dan pemegang saham rugi hingga $6 milyar dollar.
Relasi Waste Management dengan Auditor Independen Arthur Andersen
Sebelum Waste Management menjadi perusahaan publik pada tahun 1971, Arthur Andersen menjabat sebagai auditor perusahaan. Pada awal 90-an, Waste Management mengakhiri fee audit perusahaan Andersen pada level tahun sebelumnya, meskipun membolehkan firma untuk memperoleh tambahan fee sebagai “pekerjaan khusus”.Antara 1991 dan 1997, Andersen menagih Waste Management sekitar 7,5 juta dollar untuk fee audit. Selama periode tujuh tahun, Andersen juga menagih Waste Management 11,8 juta dollar untuk bayaran yang berhubungan dengan jasa-jasa sebagai berikut: 4,5 juta dollar untuk pekerjaan audit dibawah ERISA, surat kegunaan spesial atau special purpose letter (EPA), audit waralaba dan laporan-laporan lainnya, laporan registrasi dan surat comfort, International Public Offering (IPO), adopsi SFAS 106 dan 109, diskusi dan penelitian akuntansi dan lainnya (rapat komite audit), 4,5 juta dollar untuk berbagai jasa konsultasi termasuk 450ribu dollar untuk konsultasi informasi, dan 1,1 juta dollar untuk jasa lainnya yang berkaitan.
Selama 90an, kurang lebih 14 bekas karyawan Andersen bekerja untuk Waste Management. Ketika di Andersen, beberapa individual ini bekerja sama dalam grup yang bertanggung jawab untuk audit laporan keuangan Waste Mangement tahun sebelumnya hingga 1991, namun sebagian kecil telah meninggalkan Andersen lebih dari 10 tahun sebelum audit laporan keuangan tahun 1993 dimulai. Faktanya, sampai dengan tahun 1997, masing – masing Chief Financial Officer (CFO) dan Chief Accounting Officer (CAO) pada Waste Management sejak menjadi perusahaan publik telah bekerja sebelumnya sebagai auditor Andersen. CAO dan controller perusahaan Waste Management dari September 1990-October 1997, Thomas Hau, adalah bekas pejabat audit partner ikatan Andersen untuk Waste Management. Saat Hau meninggalkan Andersen, dia adalah pemimpin divisi dimana Andersen bertanggung jawab untuk melakukan audit tahunan Waste Management, tapi bukan ikatan partner Waste Management pada waktu tersebut.
Ikatan Partner Andersen dalam Audit Waste Management
Pada tahun 1991, Andersen menugaskan Robert Allgyer, partner Andersen sejak tahun 1976, untuk menjadi audit engagement partner untuk Waste Management. Dia memegang jabatan “Partner-in-Charge of Client Service” dan juga bekerja sebagai direktur pemasaran kantor cabang Andersen di Chicago. Diantara beberapa alasan dipilihnya Allgyer sebagai engagement partner adalah pengalaman yang luas di Eropa, kesetiaan jasanya kepada klien dan sikapnya yang sesuai dengan pegawai Waste Management. Sebagai kompensasi atas jasanya, Andersen memberikannya bayaran untuk jasa audit dan non audit. Walter Cercavschi, senior manajer ketika mulai bekerja dalam engagement team Waste Management pada akhir 80an, tetap dalam ikatan setelah menjadi partner pada tahun 1994.
Pada tahun 1993, Edward Maier menjadi concurring partner dalam engagement. Sebagai concurring partner tugas Maier termasuk membaca laporan keuangan, membahas akuntansi yang signifikan, audit atau melaporkan hal-hal kepada engagement partner, mengkaji ulang beberapa kertas kerja (seperti analisis resiko audit, memorandum akhir ikatan, ringkasan penyesuaian usulan dan mereklasifikasi pencatatan) dan meminta keterangan mengenai persoalan yang memiliki efek material pada laporan keuangan atau laporan auditor. Maier juga melakukan resiko manajemen atas partner di Chicago dan bertanggung jawab atas pengawasan beberapa proses sebagai keputusan audit.
Usulan Pencatatan Jurnal Penyesuaian Andersen
Pada awal 1994, engagement team Andersen mengukur (quatified) beberapa kesalahan untuk periode sekarang dan sebelumnya serta menyiapkan usulan pencatatan jurnal penyesuaian (Proposed Adjusting Journal Entries/PAJEs) sebesar 128 juta dollar untuk pencatatan perusahaan tahun 1993. Jika dicatat, jumlah ini dapat mengurangi laba bersih sebelum special item sebesar 12%. Engagement team juga menemukan praktek akuntansi yang perlu di ketahui lebih lanjut (gave rise to other known) dan sepertinya terjadi misstatemen yang menghasilkan beban operasi understatement.
Allgyer dan Maier berkonsultasi dengan Robert Kutsenda, Practice Director yang bertanggungjawab untuk Andersen cabang Chicago, Kansas City, Indianapolis dan Ohama. Kutsenda dan kepala divisi audit yang juga konsultan, memutuskan bahwakesalahan pelaporan tidak material dan Andersen dapat menerbitkan laporan audit unqualified untuk laporan keuangan tahun 1993.
Meskipun demikian, mereka menginstrusikan Allgyer untuk menginformasikan manajemen bahwa Andersen mengharapkan untuk mengubah paraktek akuntansinya dan mengurangi jumlah kumulatif PAJE pada masa yang akan datang. Setelah berkonsultasi dengan. Managing Partner dari firma, Allgyer mengusulkan “Summary of Action Steps” untuk mengurangi jumlah kumulatif PAJES, dan selanjutnya, mengubah praktek akuntansi yang memunculkan PAJES serta mungkin mengurangi kesalahan pelaporan. Meskipun manajemen perusahaan setuju dengan Action Steps, perusahaan menurut dugaan melanjutkan untuk mengikuti praktek akuntansi yang memperbesar PAJES dan kesalahan pelaporan. Meskipun demikian, engagement team Andersen mengeluarkan laporan audit unqualified untuk laporan keuangan Waste Management, walaupun terjadi kesalahan penerapan GAAP. Nyatanya, laporan keuangan Waste Management tahun 1993 sampai dengan 1996 overstated di laba sebelum tax (pre-tax) sebesar 1 milyar dollar.
SEC menuduh Dean Buntrock, pendiri perusahaan, dan 5pejabat top lainnya melakukan kejahatan. Dugaan tuduhan SEC bahwa top management telah membuat beberapa”top side” adjustement dalam proses konsolidasi yang hasilnya dilaporkan oleh grup operasional mereka serta dengan sengaja menyembunyikan penyesuaian inidari grup operasi. Sebagai tambahan, top management diduga melakukan praktek akuntansi yang tidak sesuai untuk mengurangi biaya dan secara fiktif meningkatkan pendapatan.
Untuk menyembunyikan adanya pengurangan laporan yang disengaja atas beban-beban top management menurut dugaan menggunakan praktek yang dikenal sebagai “netting”, dimana keuntungan direalisasikan pada penjualan atau penjualan assets digunakan untuk menghapus biaya-biaya operasi periode sekarang yang tidak berkaitan, bersamaan dengan manipulasi laporan yang diakumulasi pada periode sebelumnya. Top management juga menurut dugaan membuat “ geography entries” dimana memindahkan jutaan dollar untuk beberapa lini yang berbeda di laporan laba rugi agar perbandingan secara waktu sulit dilakukan. Sebagai tambahan, manajemen diduga membuat kesalahan atau mengotorisasi kesalahan dan penyesatan ( misleading) atas laporan keuangan.
Karena laporan keuangan pada tahun 1993-1996 tidak sesuai dengan GAAP, Arthur Andersen sebagai auditor Waste Management, diserang karena menerbitkan laporan pendapat unqualified untuk laporan keuangan tersebut. SEC menuduh Andersen mengetahui dan secara serampangan mengeluarkan sesuatu yang salah dan menyesatkan untuk laporan audit tahun 1993-1996. Andersen menyelesaikan masalah kepada SEC dengan membayar denda, terbesar dalam sanksi perdata, sebesar 7 juta dollar, tanpa pernyataan mengakui atau menyangkal.
Tiga partner Andersen yang bekerja pada audit Waste Management selama periode 1993-1996 yang juga termasuk dalam tuduhan SEC, yaitu : Robert Allgyer, partner yang bertanggungjawab pada engagement Waste Management, Edward Maier, concurring partner untuk engagement dan risk management partner Andersen cabang Chicago, dan Walter Cercavschi, sebagai partner on engagement Allgyer, Maier dan Cercavschi setuju untuk membayar sanksi perdata masing-masing sebesar 50,000 dollar, 40,000 dollar dan 30,000 dollar. Allgyer, Maier dan Cercavschi juga mendapat hukuman penolakan hak istimewa atas praktek sebagai akuntan, dan mendapatkan hak untuk meminta pengembalian praktek sebagai akuntan setelah lima tahun. Partner Andersen yang ke4, Robert Kutsenda, Central Region Audit Practice Director bertanggungjawab atas kantor Andersen di Chicago, Kansas City, Indianapolis dan Ohama juga dilibatkan dalam tuduhan SEC karena melakukan ketidak benaran. Kutsenda dihukum dengan penolakan hak istimewa atas praktek sebagai Akuntan. Kutsenda mendapatkan haknya kembali setelah satu tahun
PERMASALAHAN
Waste Management Inc : Kecurangan Management dan Auditor Arthur Andersen
Oleh Kelompok 4
1. Mengapa Arthur Andersen tidak menentang keinginan manajemen WMI?
Jawab : Karena Arthur Andersen memperoleh bayaran lain selain biaya audit sebesar $ 11,8 juta dan jika dia menentang keinginan manajemen WMI maka dia tidak akan menerima biaya ini dan hanya memperoleh biaya audit sebesar $ 7,5 juta. Dan biaya ini sudah diterima selama 7 tahun. Dan di samping biaya tersebut, ada sebuah entitas yang terkait yaitu Andersen Consulting yang menagih perusahan Waste Management sekitar $6 juta untuk biaya tambahan non audit.
2. Apakah aspek-aspek model manajemen risiko yang keliru dipertimbangkan oleh mitra Arthur Andersen?
Jawab : Manajemen risiko yang keliru dipertimbangkan adalah Profitabilitas dan pertumbuhan riil, dimana ketika profitabilitas dan pertumbuhan riil melambat maka WMI mulai memanipulasi laporan keuangan perusahaan untuk menjaga tampilan kesuksesan perusahaan.
3. Kepada siapakah seharusnya Arthur Andersen dapat mengeluhkan jika manajemen WMI bertindak tidak benar?
Jawab :
Komite Audit WMI, sesuai dengan American Institute Certified of Public Accountants (AICPA) menerbitkan SAS No. 60 dan 61 yang bertujuan untuk menciptakan link antara auditor dengan pemilik, yakni melalui komunikasi antara auditor independen dengan komite audit. Hal penting yang disebutkan dalam standar tersebut , antara lain pengungkapan kelemahan pengendalian internal, adanya perbedaan pendapat dengan manajemen, pengaruh dari kebijakan akuntansi tertentu yang signifikan, serta kendala yang dihadapi dalam melakukan audit.
Keberadaan Komite Audit diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengawasan internal perusahaan, serta mampu mengoptimalkan mekanisme checks and balances, yang pada akhirnya ditujukan untuk memberikan perlindungan yang optimum kepada para pemegang saham dan stakeholder lainnya.
SEC (Security Exchange Commission), adalah suatu badan independen dari pemerintah Amerika yang memiliki tangung jawab utama untuk mengawasi pelaksanaan dari peraturan-peraturan dibidang perdagangan efek dan mengatur pasar perdagangan pada bursa efek. Investgasi WMI dilakukan oleh Divisi keuangan perusahaan adl divisi yang tugasnya mengawasi keterbukaan perusahaan publik seperti halnya dgn pendaftaran transaksi, penggabungan usaha.
4. Apakah dewan direksi WMI dan Komite Audit melakukan pekerjaannya?
Jawab : Tidak, hal ini dibuktikan dengan adanya kecurangan yang ditemukan oleh SEC yang seharusnya ditemukan oleh Komite Audit dan dilaksanakan oleh Dewan Direksi WMI, kecurangan tersebut antara lain :
WMI secara curang memanipulasi hasil keuangan perusahaan untuk memenuhi target laba yang telah ditentukan. Pendapatan dan keuntungan perusahaan tidak tumbuh cukup cepat untuk memenuhi target ini, sehingga terdakwa (WMI) secara tidak tepat menghilangkan dan menunda beban periode berjalan untuk melakukan penggelembungan laba. Mereka melakukan banyak praktik akuntansi yang tidak benar untuk mencapai tujuan ini. Diantara banyak hal terdakwa :
• Menghindari beban penyusutan truk sampah mereka dengan menetapkan nilai yang tidak mendukung dan meningkatkan sisa, serta memperpanjang masa manfaat,
• Menetapkan nilai sisa dengan sewenang-wenang pada aset lain yang sebelumnya tidak memiliki nilai sisa,
• Gagal untuk mencatat beban penurunan nilai dari tempat pembuangan sampah karena mereka telah dipenuhi dengan sampah,
• Menolak untuk mencatat beban yang diperlukan untuk menghapus biaya akibat ketidaksuksesan dan pengabaian proyek tempat pembuangan sampahnya,
• Membentuk cadangan biaya kerusakan lingkungan (kewajiban) sehubungan dengan akuisisi sehingga kelebihan cadangan dapat digunakan untuk menghindari pencatatan beban usaha yang tidak terkait,
• Mengkapitalisasi berbagai biaya secara tidak benar,
• Gagal untuk membentuk cadangan yang cukup (kewajiban) untuk membayar pajak penghasilan dan biaya-biaya lainnya.
5. Apakah denda yang dikenakan cukup tinggi ?
Jawab : Ya, dimana Artur Anderen membayar denda sebesar $7 juta serta mitra-mitra utamanya didenda dan dilarang berpraktik oleh SEC. Sedangkan WMI membayar denda sebesar $677 juta, dengan kontribusi dari Artur Andersen sebesar $95 juta.
6. Apakah seharusnya Anda menggunakan “anjing” yang sama untuk menemukan “tulang “ dalam skandal akuntansi?
Jawab : Jika “anjing” tersebut berkompeten dan independen maka tidak masalah menggunakannya kembali untuk menemukan “tulang” dalam skandal akuntansi tetapi untuk membuat “anjing” tersebut konsisten, merupakan suatu hal yang sangat sulit sehingga kita menggunakan “anjing” yang berbeda.
(00000)

Allied Office
I. LATAR BELAKANG
1. Bisnis TFC
Allied Office Product adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dalam pembuatan segala macam jenis kertas dan form seperti amplop, kertas tulis, kartu ucapan, dan kartu pesan. Pada tahun 1988, Allied Product Company memperluas bisnis mereka dalam bidang layanan manajemen persediaan. Allied berkeyakinan bahwa bisnis layanan manajemen persediaan ini akan mendatangkan nilai tambah dan terbilang unik dibandingkan dengan para perusahaan pesaingnya.
Allied juga memulai program yang dinamakan Total Form Control (TFC), dimana program ini menyediakan berbagai layanan seperti layanan yang berkaitan dengan pergudangan dan distribusi form (termasuk pendanaan persediaan), serta pengendalian persediaan dan pelaporan penggunaan form. Allied menggunakan jaringan sistem komputer yang canggih untuk memonitor persediaan milik pelanggannya, penggunaa form, dan aktivitas pemesanan. Mereka menyediakan informasi-informasi berkaitan dengan hal tersebut dalam bentuk yang sederhana dan mudah untuk dibaca oleh pihak manajemen pelanggan. Layanan distribusi Allied terdiri dari layanan Pick Pack dan Desk Top Delivery.
2. Sistem Akuntansi Biaya Saat Ini
Allied mengoperasikan manufaktur formulir dan aktivitas TFC nya sebagai pusat laba yang terpisah. Transfer produk TFC adalah transaksi langsung dengan harga transfer ditetapkan pada harga pasar yang wajar. Allied memproduksi formulir bisnis di 13 lokasi. Klien dikenakan biaya layanan untuk menutup biaya pergudangan dan distribusi berdasarkan persentase biaya penjualan produk untuk bulan tersebut, tanpa memperdulikan tingkat layanan tertentu yang disediakan bagi klien tersebut.
Layanan distribusi seharusnya membebankan suatu harga untuk formulir yang cukup tinggi untuk memungkinkan tambahan 32,3% dari biaya produk untuk menutup beban pergudangan dan distribusi, biaya modal yang terikat dalam bentuk persediaan, dan beban pengangkutan. Bagian penjualan melakukan mark up biaya produk dan layanan sebesar 20%, secara rata-rata.
3. Pemahaman terhadap Profitabilitas Pelanggan
Pada bulan Oktober 1992, profitabilitas TFC memburuk. Tahun 1988 Divisi Formulir Bisnis memperoleh ROI 20%. TFC diproyeksikan akan memperoleh ROI hanya sebesar 6% untuk tahun 1992. Dari hasil pemeriksaan catatan dua pelanggan yaitu pelanggan A dan B memiliki penjualan tahunan sebesar $79.320 dengan biaya produk sebesar $50.000. Pelanggan-pelanggan ini dikenakan biaya layanan yang sama, padahal pelanggan-pelanggan tersebut hanya sama dalam hal nilai produk yang dijual, sedangkan mereka berbeda dalam hal tingkat layanan yang mereka butuhkan dari Allied.
Tahun lalu, pelanggan A telah mengirimkan 364 permintaan untuk produk dengan total 910 baris, sementara pelanggan B telah mengirimkan 790 permintaan dengan total sejumlah 2.500 baris. Pelanggan A menyimpan rata-rata 350 karton persediaan di pusat distribusi, sementara pelanggan B adalah $50.000 ($7.000 telah disimpan selama hampir satu tahun penuh) sementara untuk pelanggan A hanyalah sebesar $15.000. Karena aktivitas yang lebih besar pada pelanggan B, pengiriman dilakukan 3 x seminggu dengan biaya pengangkutan tahunan rata-rata sebesar $2.250. Selain itu, pelanggan B telah meminta pengantaran ke meja 26x selama tahun lalu, sementara pelanggan A tidak memintanya sama sekali.
4. Pusat Distribusi: Analisis Aktivitas
Bagian gudang melakukan penyimpanan karton dan memproses permintaan. Jumlah ruang gudang yang kami butuhkan bergantung pada jumlah karton. Bagian gudang memiliki banyak karton yang menganggur lama. Jika bagian gudang menciptakan program sewa guna usaha yang fleksibel dan mengubah konfigurasi lorong, mungkin dapat menyesuaikan kebutuhan ruang jika jumlah karton yang disimpan berubah. Bagian gudang memiliki sebagian persediaan yang telah menganggur.
Bagian administrasi operasi, segala sesuatu bergantung pada jumlah permintaan. Pada satu permintaan, pelanggan dapat meminta barang yang berbeda sebanyak mungkin yang mereka inginkan. Menurut supervisor pabrik layanan pick pack membutuhkan banyak tenaga kerja. Pengantaran ke meja merupakan suatu penderitaan bagi tenaga kerja, karena mereka juga mempunyai pekerjaan lain.
Sejumlah besar uang dihabiskan untuk pemrosesan data, terutama tenaga kerja. Yang dilakukan di operator entri data adalah memasukkan permintaan-permintaan tersebut, baris per baris per baris. Yang menjadi masalah adalah berapa banyak baris yang harus saya entri.
Setelah melakukan wawancara dan observasi, Tim dan John membagi distribusi menjadi enam aktivitas utama bernilai tambah, yaitu penyimpanan, penanganan permintaan, pemilihan stock gudang dasar, aktivitas pick pack, entri data dan desk top delivery.
Storage $ 1,550,000
Requisition Handling $ 1,801,000
Basic Warehouse Selection $ 761,000
“Pick-Pack” Activity $ 734,000
Data Entry $ 612,000
Desk Top delivery $ 250,000
Total $ 5,708,000
Tim kemudian mengestimasikan hal-hal berikut ini untuk tahun 1992 berdasarkan informasi historis dan tren saat ini untuk sampel dari lima gudang:
• Secara rata-rata, lima pusat distribusi ini yang tersebar di seluruh negara akan memiliki persediaan gabungan mendekati 350.000 karton (hampir semua karton dengan ukuran standar).
• Pusat distribusi tersebut akan memproses sekitar 310.000 permintaan untuk tahun 1992.
• Masing-masing permintaan akan memiliki rata-rata 2,5 baris.
• Hampir 90% dari baris tersebut akan memerlukan aktivitas ”pick pack” (dibandingkan dengan mengirimkan satu karton penuh).
• Biaya modal pada tahun 1992 mungkin sekitar 13 %.
Tim merencanakan untuk membuat persediaan lama bergerak, yaitu perlu membebankan pada klien 1,5% perbulan, untuk segala sesuatu yang tidak bergerak selama sembilan bulan. Membebankan untuk aktivitas desk top delivery $30 setiap kalinya. Pembebanan Keseluruhan sebesar $250.000, karena kita akan memproses sekitar 8.500 permintaan desk top delivery.
5. Penetapan Harga Berdasarkan layanan
Penetapan harga berdasarkan layanan akan membuat beberapa pelanggan akan mengalami kenaikan karena tambahan beban distribusi. Departemen akuntansi menyimpan data base yang menunjukkan semua aktivitas terhadap masing-masing pelanggan dan menghitung kontibusi dari pelanggan tersebut. Meskipun TFC memiliki 1.100 pelanggan yang terpisah. Empat puluh pelanggan teratas mewakili 48% dari penjualan bersih perusahaan.
II. PERMASALAHAN
1. Dengan menggunakan informasi dalam bacaan di atas dan dengan Exhibit 2, hitunglah “ABC” berdasarkan service cost untuk bisnis TFC.
2. Dengan menggunakan sistem costing baru milik Anda, hitunglah distribusi service cost untuk Pelanggan A dan Pelanggan B.
3. Apa perbedaan yang bisa anda gambarkan mengenai profitabilitas dari kedua pelanggan tersebut.
4. Haruskan TFC menerapakan SBP pricing system?
5. Apa nasehat manajemen yang Anda punya untuk Allied mengenai bisnisTotal Forms Control (TFC) ?
III. ANALISIS PERMASALAHAN
1. Dasar alokasi, atau pemicu biaya untuk masing-masing pusat biaya mencerminkan penyebab dari terjadinya biaya, yaitu elemen yang menjelaskan mengapa jumlah biaya yang terjadi di pusat biaya atau aktivitas itu, bervariasi.
Tahapan untuk menerapkan ABC:
a. Mengidentifikasikan dan mendefinisikan aktivitas dan pul aktivitas
Cara untuk memahami aktivitas dan bagaimana aktivitas tersebut digabungkan disusun dalam lima tingkat: tingkat unit, tingkat batch, tingkat produk, tingkat pelanggan, dan pemeliharaan organisasi.
• Aktivitas tingkat unit, contoh menyediakan tenaga untuk menjalankan peralatan menjadi aktivitas tingkat unit karena tenaga cenderung dikonsumsi secara proporsional dengan jumlah unit produksi.
• Aktivitas tingkat bath, contoh membuat pesanan produksi, pengaturan peralatan dan pengaturan pengiriman kepada pelanggan
• Aktivitas tingkat produk, contoh aktivitas merancang produk, mengiklankan produk, dan biaya manajer dan staf produksi
• Aktivitas tingkat pelanggan, contoh aktivitas seperti telepon untuk penjualan, pengiriman catalog, dukugan teknis yang tidak terpaku pada produk tertentu.
• Aktivitas pemeliharaan organisasi, contoh kebersihan kantor eksekutif, penyediaan jaringan computer, pengaturan pinjaman, penyusunan laporan tahunan untuk pemegang saham dan sebagainya.
b. Bila mungkin, menelusuri biaya overhead secara langsung ke aktivitas dan objek biaya
c. Membebankan biaya ke pul biaya aktivitas
d. Menghitung tarif aktivitas
e. Membebankan biaya ke objek biaya dengan menggunakan tarif aktivitas dan ukuran aktivitas.
f. Menyiapkan laporan manajemen
Perhitungan biaya berdasarkan aktivitas.
Storage charge = $ 1,550,000 / 350,000 cartons
= $ 4.43 per carton
Requisition handlings charge = $ 1,801,000 / 310,000 requisitions
= $ 5.81 per requisition
Basic warehouse stock selection = $ 761,000 / 310,000 x 2.5
= $ 0.91 per line
Data entry = $ 612,000 / 310,000 x 2.5
= $ 0.79 per line
Charge “pick pack” activity = $ 734,000 / 310,000 x 2.5 x 0.9
= $ 1.05
Charge “desk top” = $ 250,000 / 8500
= $ 29.41
Ongkos angkut muatan berdasarkan penjualan sebenarnya dimana biaya persediaan sebesar 13% dari saldo persediaan rata-rata. Persediaan di gudang milik klien yang belum diambil dikenakan biaya 1,5% per bulan setelah 9 bulan di gudang.
2. Dengan menggunakan sistem perhitungan biaya yang baru, maka kalkulasi biaya servis untuk kustomer A dan kustomer B adalah sebagai berikut :
PELANGGAN A
Pul Biaya Aktivitas Tarif Aktivitas Aktivitas Biaya ABC
Penyimpanan 4,43 350 1.550,00
Penanganan Permintaan 5,81 364 2.114,72
Pemilihan stock gudang dasar 58.538,46 0 -
Aktivitas pick pack 1,05 910 957,62
Entri data 0,79 910 718,61
desk top delivery 29,41 0 -
5.340,95
PELANGGAN B
Pul Biaya Aktivitas Tarif Aktivitas Aktivitas Biaya ABC
Penyimpanan 4,43 700 3.100,00
Penanganan Permintaan 5,81 790 4.589,65
Pemilihan stock gudang dasar 58.538,46 0 -
Aktivitas pick pack 1,05 2500 2.630,82
Entri data 0,79 2500 1.974,19
desk top delivery 29,41 26 764,71
13.059,37
3. Kesimpulan yang kita peroleh dari penggambaran profitabilitas dari kedua kostumer tersebut adalah :
Berdasarkan hasil kalkulasi “ABC”-based service cost for the TFC business diketahui bahwa customer A menggunakan cost yang lebih sedikit untuk service yang disediakan oleh Allied dibandingkan dengan customer B. Dengan begitu customer B berpotensi memberikan Allied revenue yang lebih besar jika pembebanan biaya service berdasarkan ABC. Dilihat dari jumlah pembelian customer B yang lebih banyak, Allied akan mempertahankan customer B bahkan meningkatkan pembeliannya. Customer A memiliki ketergantungan yang rendah terhadap servis yang diberikan Allied, sehingga tidak menutup kemungkinan customer A akan dapat pergi meninggalkan Allied dan berpindah kepada supplier lain.
4. Apakah seharusnya TFC mengimplementasikan SBP pricing system?
Ya, TFC sebaiknya mengimplementasikan SBP pricing system. Walaupun dengan menggunakan SBP mungkin tidak menjamin bahwa profitabilitas TFC akan meningkat, dengan bantuan ABC system (yang berguna untuk mengetahui pelanggan yang menguntungkan dan yang tidak), SBP akan memberikan kontribusi yang besar terhadap net sales dari divisi TFC.
5. Saran dari kelompok kami untuk manajemen Allied mengenai bisnis TFC
Dari 6 aktivitas kegiatan, ada beberapa efisiensi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan TFC :
• Bagian gudang (storage) melakukan penyimpanan karton dan memproses permintaan. Jumlah ruang gudang yang kami butuhkan bergantung pada jumlah karton. Bagian gudang memiliki banyak karton yang menganggur lama. Jika bagian gudang menciptakan program sewa guna usaha yang fleksibel dan mengubah konfigurasi lorong, mungkin dapat menyesuaikan kebutuhan ruang jika jumlah karton yang disimpan berubah. Bagian gudang memiliki sebagian persediaan yang telah menganggur.
• Efisiensi dari bagian pengepakan (pickpack) dapat ditingkatkan dengan meningkatkan otomatisasi, mungkin bisa diganti dengan menggunakan robot.
• Efisiensi dari bagian entry data: Dimana pengentrian data dilakukan dalam jumlah yang lumayan banyak, dan cenderung dilakukan berulang kali untuk barang yang sama, sehingga petugas dari entri barang itu sangat kesulitan. Sebaiknya untuk barang yang sama tidak usah dilakukan dua kali atau lebih, akan tetapi cukup dilakukan penjumlahan barang tersebut untuk periode entri yang dilakukan pada hari yang sama.
TFC harus menetapkan harga pada klien sesuai dengan servis yang mereka manfaatkan. Sebaiknya TFC menggunakan sistem “cost plus pricing strategy”. Hal ini mengimplementasikan bahwa klien harus dibebani harga sesuai dengan servis yang dikenakan ditambah dengan sejumlah mark-up. Dengan demikian akan dikenakan harga yang fair bagi klien.
Hubungan proses di dalam rantai nilai dari perusahaan Allied
Suatu perusahaan dalam menganalisis hubungan proses di dalam rantai nilai, mencari cara untuk meningkatkan efisiensinya. Efisiensi dari bagian desain rantai nilai dapat ditingkatkan dengan mengurangi jumlah komponen terpisah dan meningkatkan kemudahan untuk memproduksinya.
• Efisiensi dari bagian dalam dapat ditingkatkan dengan menggunakan komputer untuk menempatkan pesanan secara otomatis, dengan membatasi pengantaran menjadi jumlah yang just in time (yang mengurangi persediaan) dan dengan membuat pemasok bertanggung jawab atas kualitas.
• Efisiensi dari bagian produksi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan otomasi, mungkin bisa diganti dengan menggunakan robot.
• Efisiensi dari bagian luar dapat ditingkatkan dengan membuat pelanggan memesan secara elektronik, dengan meningkatkan efisiensi dari operasi gudang.
Semua bagian dari rantai nilai dianalisis bersamaan, jika tidak, peningkatan di satu mata rantai mungkin ditiadakan oleh tambahan biaya di mata rantai lain.

Kasus Hukum Perlindungan Konsumen
1. KASUS PT PLN
Pada hari Minggu 13 April 1997 telah terjadi pemadaman aliran listrik
disebagian besar wilayah Jawa dan Bali. Bagi kepentingan konsumen jasa kelistrikan,
pemadaman tersebut mempunyai dua arti istimewa. Pertama, dari segi cakupan
wilayah, pemadaman kali ini cukup luas dan berada dalam wilayah strategis
pelayanan PT. PLN, yaitu Jawa dan Bali.
Kedua, dari segi waktu, lamanya pemadaman rata-rata 8 jam juga terbilang
cukup lama untuk ukuran PT. PLN.
Kerugian yang diderita konsumen akibat pemadaman tersebut cukup
beragam. Tidak hanya konsumen langsung (pelanggan PT. PLN) yang dirugikan,
masyarakat yang secara langsung tidak mempunyai hubungan hukum dengan PT.
PLN pun juga dirugikan akibat tidak berfungsinya berbagai fasilitas umum yang
powernya disuplay PT. PLN, seperti KRL Jabotabek, lampu pengatur lalu lintas, dan
stasiun pompa bensin umum (SPBU).
Nilai nominal yang diderita konsumen juga beragam, beragam apakah
konsumen sebagai pelanggan rumah tangga atau pelanggan bisnis. Untuk pelanggan
rumah tangga, bentuk kerugian mulai dari tidak bisa mandi karena pompa air tidak
berfungsi, tidak bisa nonton TV sampai harus beli lilin sebagai ganti lampu
penerangan.
Alasan yang dikemukakan oleh PT. PLN atas peristiwa pemadaman tersebut
adalah dikarenakan adanya gangguan teknik yang timbul diluar dugaan pada sistem
relay pengaman tegangan (proteksi) 500 kv yang berbentuk kartu elektronik dengan
sistem modul komputer di Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) Gandul
Sawangan-Bogor. Kejadian dimaksudkan muncul secara mendadak dan tiba-tiba
dimana peralatan proteksi tidak berfungsi sebagaimana mestinya yang terprogram
secara komputer. Selanjutnya terhadap gangguan tersebut secepatnya diupayakan
pemulihan suplay tenaga listrik dengan penanganan teknik secara optimal, sehingga
suplay dengan sistem interkoneksi 500 kv Jawa – Bali kembali normal. (Jawaban
Tergugat PT. PLN dalam perkara perdata No.134/Pdt.G/1997/PN.Jaksel)
Upaya advokasi yang dilakukan YLKI dalam merespon terjadinya pemadaman
listrik total Jawa – Bali, 13 April 1997 adalah melalui kuasa hukumnya LBH Jakarta
yaitu dengan menempuh jalur hukum mengajukan gugatan ganti rugi kepada PT.
PLN. Hal baru yang dilakukan YLKI dalam gugatan perdata ini adalah selain mewakili
diriya sendiri selaku pelanggan PT. PLN, YLKI juga mewakili masyarakat konsumen
PT. PLN.
Angka-angka yang mengejutkan ini semakin bertambah tiap tahun akan
tetapi sepertinya kurang nyata dalam masyarakat oleh karena banyak konsumen
yang tidak menyuarakan hak dan kepentingannya.
Kerugian materi atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen disebabkan oleh
tidak sempurnanya produk. Banyak produsen yang kurang menyadari tanggung
jawabnya untuk melindungi konsumen atau menjamin keselamatan dan keamanan
dalam mengkonsumsi produk yang dihasilkannya.
Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Rendahnya kesadaran hukum para pejabat pemerintah yang kurang hatihati dalam melakukan pengawasan terhadap barang-barang konsumsi
yang dihasilkan produsen.
2. Adanya kebijaksanaan resmi pemerintah tentang pemakaian barang
berbahaya atau adanya barang yang mempunyai cacat, yang
bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku yang menyangkut
dengan keamanan dan keselamatan masyarakat. Misalnya dipakainya DOT
untuk pemberantasan malaria melalui Depkes RI.
3. Masih rendahnya kesadaran masyarakat konsumen dan produsen lapisan
bawah serta kurangnya penyuluhan hukum sehingga mereka tidak
terjangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada.
4. Adanya kesengajaan dari produsen untuk mengedarkan barang yang
cacat dan berbahaya, baik karena menyadari kelemahan konsumen,
kelemahan pengawasan, ataupun demi mengejar keuntungan atau laba.
KESIMPULAN :
Penegakan perlindungan hukum terhadap konsumen perlu diterapkan, hal ini
ditunjang dengan dibuatnya suatu undang-undang tentang perlindungan konsumen
yang merupakan pengejawantahan dari perintah UUD 1945 yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum didalam setiap
kepentingan masyarakat, ketidakpastian akan perlindungan hukum terhadap
konsumen merupakan hambatan pada upaya perlindungan konsumen.
Pada kenyataannya telah terbentuk suatu lembaga yang bertujuan untuk
membawa konsumen dalam mempertahankan haknya sebagai konsumen yaitu
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, akan tetapi para konsumen tetap masih
enggan menempuh melalui lembaga peradilan bagi dirinya sehingga lebih bersifat
pasrah terhadap apa yang dialaminya.
Produk yang cacat bila produk tidak aman dalam penggunaannya tidak
memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana diharapkan dengan
pertimbangan berbagai keamanan terutama tentang :
- penampilan produk
- penggunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk.
- saat produk tersebut diedarkan
Selanjutnya pasal 1367 KUHPerdata sangat tepat sebab tanggung jawab
mutlak terhadap produsen untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen akibat
dari kerugian yang dialami konsumen yang disebabkan oleh barang yang cacat dan
berbahaya.
2. Kasus Pengingkaran Perlindungan Hak-hak Konsumen pada Kasus BBM
Hal ini kasus kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), masyarakat konsumen tetaplah menjadi objek penderita meskipun akan diupayakan adanya subsidi dan kompensasi dalam berbagai bentuk. Ini berarti bahwa produk-produk kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, yang ditandai dengan kenaikan elpiji sebesar 41,6% dan harga BBM yang besarnya direncanakan sebesar 40% semakin memperjelas beban masyarakat sebagai konsumen akan semakin berat.
Apa yang dilakukan pemerintah saat ini sama sekali bertentangan dengan ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 29 UUPK, bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Secara teknis, kewajiban pemerintah itu dilaksanakan oleh menteri, atau menteri teknis terkait.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mestinya memperjuangkan nasib rakyat, ternyata sekadar stempel pemerintah agar kebijakan-kebijakan yang diambil dapat memperoleh legitimasi dari masyarakat. Kalaupun terjadi perubahan dalam hal persentase kenaikannya, nilai perubahan itu dapat dipastikan tidak sesuai dengan kondisi yang berkembang dan tuntutan masyarakat. Rakyat menjerit karena harga-harga sudah telanjur meningkat jauh sebelum kepastian kenaikan harga BBM diputuskan. Meskipun pemerintah secara aktif dan terus-menerus melakukan sosialisasi, kenyataannya upaya tersebut tidak akan mampu mempengaruhi melambungnya harga-harga.
3. Kasus Prita : UU ITE vs UU Perlindungan Konsumen
Kasus yang menimpa Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang dijebloskan ke penjara akibat tindakannya menuliskan keluhan yang dialaminya di surat pembaca elektronik, ternyata berhadapan dengan Undang-Undang ITE. Sementara UU Perlindungan Konsumen ternyata tidak dipakai.
Prita Mulyasari dituntut oleh RS Omni International karena dianggap melakukan pencemaran nama baik. Tidak hanya itu, Prita juga dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 27 ayat 3 merupakan pasal yang sempat diajukan oleh komunitas blogger ke meja Mahkamah Konsititusi (MK) untuk dicabut, karena dianggap sebagai pasal karet yang bisa digunakan oleh penguasa untuk mengekang kebebasar berekspresi di internet.
Ternyata, pasal ini sudah memakan 2 korban. Pertama, Narliswandi Piliang atau Iwan Piliang, seorang citizen journalist yang dituntut oleh politisi Alvin Lie. Korban kedua, adalah Prita Mulyasari yang dituntut oleh RS Omni International. Padahal, Menkominfo M Nuh telah menegaskan komitmennya bahwa UU ITE bukanlah alat untuk mengekang kebebasan berekspresi di internet.
Kenyataannya, pasal 27 ayat 3 seakan menjadi "amunisi tambahan" bagi pasal pencemaran nama baik yang biasanya hanya ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Prita adalah contoh nyata, bagaimana pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut dipergunakan. Padahal, yang dilakukan oleh Prita adalah menulis keluhan dan menyatakan haknya untuk komplain sebagai seorang konsumen. Tindakan Prita ini sebenarnya telah dijamin oleh UU Perlindungan Konsumen. Namun, patut dipertanyakan mengapa UU Perlindungan konsumen tidak dipergunakan dalam kasus ini.
Seberapa besar sebenarnya pengaruh UU ITE dibanding UU Perlindungan Konsumen? Tentu tidak dapat dibandingkan. Namun, jika bicara fakta, UU Perlindungan Konsumen termasuk yang paling jarang diimplementasikan. Justru UU ITE yang baru berusia muda sudah mampu membuat seorang Prita yang hanya seorang ibu rumah tangga ditahan dan bahkan diperpanjang penahanannya.
Komunitas pengguna internet pun tidak tinggal diam. Gerakan dukungan terhadap Prita di dunia maya mulai melebar tidak hanya di milis, blog, bahkan hingga situs jejaring sosial seperti facebook juga mulai bermunculan. Upaya ini dilakukan untuk meluruskan prinsip yang digunakan dalam UU ITE. Karena, pasal 27 ayat 3 tersebut seharusnya dimaknai sebagai upaya perlindungan, bukan malah dijadikan alat untuk menyerang seperti yang dilakukan oleh RS Omni International dalam kasus Prita tersebut.
Komunitas pengguna internet memandang bahwa surat elektronik yang ditulis oleh Prita tersebut seharusnya disikapi sebagai sebuah komplain dari konsumen kepada RS Omni International, dan tidak ada unsur pencemaran nama baik. Kecuali, jika Prita bukanlah konsumen dari RS Omni International.